Home » » MAJAPAHIT BUKAN KESULTANAN ISLAM (2)

MAJAPAHIT BUKAN KESULTANAN ISLAM (2)

Written By krisna on Minggu, 15 Mei 2011 | 07.58

Fakta ke dua yang diungkap oleh Herman Sinung Janutama adalah sebagai berikut :

2. Pada batu nisan Syeikh Maulana Malik Ibrahim yang selama ini dikenal sebagai Wali pertama dalam sistem Wali Songo yang menyebarkan Islam di Tanah Jawa terdapat tulisan yang menyatakan bahwa beliau adalah Qadhi atau hakim agama Islam kerajaan Majapahit. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Agama Islam adalah agama resmi yang dianut oleh Majapahit karena memiliki Qadhi yang dalam sebuah kerajaan berperan sebagai hakim agama dan penasehat bidang agama bagi sebuah kesultanan atau kerajaan Islam.
 

Tulisan yang sebenarnya pada batu nisan Syeikh Maulana Malik Ibrahim tersebut adalah sebagai berikut :

Di latar nisan itu tersurat ayat suci Al-Quran: surat Ali Imran 185, Ar-Rahman 26-27, At-Taubah 21-22, dan Ayat Kursi. Ada juga rangkaian kata pujian dalam bahasa Arab bagi Malik Ibrahim: ”Ia guru yang dibanggakan para pejabat, tempat para sultan dan menteri meminta nasihat. Orang yang santun dan murah hati terhadap fakir miskin. Orang yang berbahagia karena mati syahid, tersanjung dalam bidang pemerintahan dan agama.”

Pada nisan makam Syeikh Maulana Malik Ibrahim atau Syeikh Maghribi atau Sunan Gresik, terdapat inskripsi yaitu surat al-Baqarah ayat 225 (ayat Kursi), surat Ali Imran ayat 185, surat al-Rahman ayat 26-27, dan surat al-Taubah ayat 21-22 serta tulisan dalam bahasa Arab yang artinya:

Ini adalah makam almarhum seorang yang dapat diharapkan mendapat pengampunan Allah dan yang mengharapkan kepada rahmat Tuhannya Yang Maha Luhur, guru para pangeran dan sebagai tongkat sekalian para Sultan dan Menteri, siraman bagi kaum fakir dan miskin. Yang berbahagia dan syahid penguasa dan urusan agama: Malik Ibrahim yang terkenal dengan kebaikannya (dalam terjemahan lain disebut: terkenal dengan Kakek Bantal-red). Semoga Allah melimpahkan rahmat dan ridha-Nya dan semoga menempatkannya di surga. Ia wafat pada hari Senin 12 Rabi’ul Awwal 822 Hijriah.

Dari kedua uraian tersebut di atas menunjukkan kepada kita bahwa tidak pernah tertulis dalam batu nisan tersebut suatu pernyataan yang menyatakan bahwa Maulana Malik Ibrahim adalah Qadhi (hakim agama) di kerajaan Majapahit.

Lebih jauh lagi, Slamet Mulyana dalam bukunya Nagarakretagama dan tafsir sejarahnya, Bhratara Karya Aksara, 1979 pada halaman 189 menyebutkan :

"Semua keputusan dalam pengadilan diambil atas nama raja yang disebut Sang Amawabhumi, artinya : orang yang mempunyai atau menguasai negara. Dalam mukadimah Kutara Manawa ditegaskan demikian : Semoga Sang Amawabhumi teguh hatinya dalam mentrapkan besar kecilnya denda, jangan sampai salah trap, jangan sampai orang yang bertingkah salah luput dari tindakan. Itulah kewajiban Sang Amawabhumi, jika beliau mengharapkan kerahayuan negaranya".

Dalam hal ini jelas kepada kita, bahwa hakim agama (Qadhi) pada masa kerajaan Majapahit disebut dengan istilah Sang Amawabhumi yang tidak lain dan tidak bukan adalah Raja Majapahit yang berkuasa pada saat itu. Hal ini sesuai dengan kitab perundang-undang yang berlaku pada masa itu yang terkenal dengan Kitab Kutaramanawa.

Di dalam paragraf berikutnya Slamet Mulyana menjelaskan hal yang berikut ini :

"Dalam soal pengadilan, raja dibantu oleh dua orang dharmadhyaksa, seorang dharmadhyaksa kasaiwan, seorang dharmadhyaksa kasogatan, yakni kepala agama Siwa dan kepala agama Budha, dengan sebutan DANG ACARYA, karena kedua agama itu merupakan agama utama dalam kerajaan Majapahit dan segala perundang-undangan didasarkan agama. Kedudukan dharmadhyaksa boleh disamakan dengan kedudukan Hakim Tinggi, mereka itu dibantu oleh lima upapatti artinya pembantu; dalam pengadilan adalah pembantu dharmadhyaksa. Mereka itu dalam piagam biasa disebut pamegat atau sang pamegat (disingkat samgat) artinya : sang pemutus alias hakim ..."

Dengan demikian jelaslah bagi kita semua bahwa pada masa kerajaan Majapahit hakim-tinggi atau bisa dikatakan sebagai hakim-agama hanya ada dua yang disebut dengan Dharmadhyaksa Kasaiwan (untuk golongan Siwa) dan Dharmadhyaksa Kasogatan (untuk golongan Budha). Kenyataan ini bukanlah suatu rekayasa sejarah, melainkan ditunjang dengan berbagai prasasti (piagam) yang ditemukan dan berasal dari masa kerajaan Majapahit diantaranya Piagam Kudadu (1294), Piagam Sidateka (1323), Piagam Trawulan (1358) serta piagam-piagam lainnya yang isinya menyebutkan nama hakim-hakim agama tersebut.

Selanjutnya, hakim agama pada masa kerajaan Majapahit diberikan suatu gelar yaitu DANG ACARYA dan bukan gelar Sunan.

Berikut ini adalah daftar hakim-agama pada masa kerajaan Majapahit dari tahun 1293 sampai dengan tahun 1365.


Dengan demikian dalam masa kerajaan Majapahit tidak ada atau belum dikenal istilah Qadhi (hakim agama).

Selanjutnya dipersilahkan untuk membaca bagian ketiga

0 komentar:

Posting Komentar

Demi kemajuan blog ini, silahkan berkomentar yang bersifat membangun ...