Sepeninggal raja Hayam Wuruk, tahta kerajaan Majapahit diduduki oleh Wikramawardhana (Bhra Hyang Wisesa) yang sebenarnya adalah menantu sekaligus keponakan dari raja Hayam Wuruk karena pernikahannya dengan puteri Hayam Wuruk yang bernama Kusumawardhani. Seharusnya yang menjadi raja menggantikan Hayam Wuruk adalah Kusumawardhani sendiri (selaku puteri mahkota yang lahir dari permaisuri Paduka Sori). Wikramawardhana sendiri adalah putera Dyah Nrttaja Rajasaduhiteswari, yaitu adik Hayam Wuruk yang menikah dengan Bhre Paguhan, Singhawarddhana.
Wikramawarddhana mulai memerintah Majapahit dari tahun 1389 selama dua belas tahun, dan pada tahun 1400 ia mengundurkan diri dari pemerintahan, menjadi seorang pendeta (bhagawan), dan mengangkat anaknya yang bernama Suhita (dalam Pararaton disebut dengan Sri Ratu Prabu-stri, dan ada juga yang menyebut Kencono Wungu). Suhita adalah anak kedua dari Wikramawarddhana, anak pertamanya adalah Bhre Tumapel yang meninggal pada tahun 1399 sebelum dinobatkan menjadi raja.
Duduknya Suhita di atas tahta kerajaan Majapahit ini ternyata menimbulkan pangkal kericuhan di Majapahit, yaitu timbulnya perseteruan keluarga antara Wikramawaddhana dengan Bhre Wirabhumi (anak Hayam Wuruk dari isteri selir, sehingga tidak berhak atas tahta Majapahit dan telah diberi kewenangan atas bumi Blambangan). Bhre Wirabhumi tidak setuju atas pengangkatan Suhita menjadi raja Majapahit, dan sejak tahun 1401 timbullah persengketaan yang setelah tiga tahun semakin memuncak menjadi suatu huru-hara yang dikenal dengan peristiwa paregreg. Kedua belah pihak mengumpulkan orang-orangnya, menghimpun kekuatan dan akhirnya terjadilah perang saudara.
Dalam peperangn tersebut mula-mula Wikramawarddhana dari kadaton kulon menderita kekalahan, akan tetapi kemudian setelah mendapat bantuan dari Bhre Tumapel (Bhra Hyang Parameswara) ia akhirnya dapat mengalahkan Bhre Wirabhumi dari kadaton wetan. Bhre Wirabhumi kemudian melarikan diri naik perahu, ia dikejar oleh Raden Gajah (di dalam Pararaton tokoh ini berkedudukan sebagai Ratu Angabdhaya dan bergelar Bhra Narapati) dan tertangkap, kemudian dibunuh dan dipenggal kepalanya, peristiwa ini terjadi pada tahun 1406.
Peperangan antara Wikramawarddhana dengan Bhre Wirabhumi ini disebutkan pula di dalam berita Cina yang berasal dari jaman dinasti Ming (1368-1643). Di dalam buku sejarah Dinasti Ming (Ming Shih) jilid ke 324, disebutkan bahwa setelah kaisar Ch'eng-tsu naik tahta pada tahun 1403, ia mengadakan hubungan diplomatik dengan Jawa (Majapahit), ia mengirimkan utusan-utusannya kepada raja 'bagian-Barat' Tu-ma-pan dan raja 'bagian Timur' Put-ling-ta-ha (Pi-ling-da-ha). Pada tahun 1405 Laksamana Cheng-Ho memimpin sebuah armada perutusan ke Jawa, dan pada tahun berikutnya ia menyaksikan kedua raja Majapahit tersebut saling berperang. Kerajaan bagian Timur disebutkan menderita kekalahan dan kerajaannya dirusak. Berita Cina tersebut mengemukakan pula bahwa pada waktu terjadi perang antara kedua raja tersebut perutusan Cina sedang berada di kerajaan bagian Timur, bahkan serangan tentara kerajaan bagian Barat itu telah menyebabkan ikut terbunuhnya 170 orang Cina.
Walaupun Bhre Wirabhumi sudah meninggal, peristiwa pertentangan keluarga itu belum reda juga, bahkan peristiwa terbunuhnya Bhre Wirabhumi telah menjadi benih balas dendam dan persengketaan keluarga itu menjadi semakin belarut-larut. Pada tahun 1433 Raden Gajah dibunuh karena dipersalahkan telah membunuh Bhre Wirabhumi.
Masa pemerintahan Suhita berakhir dengan meninggalnya Suhita pada tahun 1477, ia didharmakan di Singhajaya bersama-sama dengan suaminya Bhra Hyang Parameswara (Aji Ratnapangkaja) yang telah meninggal pada tahun 1446, karena Suhita tidak memiliki anak, maka sepeninggalnya tahta kerajaan Majapahit diduduki oleh adiknya Bhre Tumapel Dyah Kertawijaya.
Selanjutnya silahkan baca di perebutan kekuasaan (bagian kedua)
0 komentar:
Posting Komentar
Demi kemajuan blog ini, silahkan berkomentar yang bersifat membangun ...