Home » » TRIBHUWANOTTUNGGADEWI

TRIBHUWANOTTUNGGADEWI

Written By krisna on Minggu, 01 Mei 2011 | 00.17

Raja Jayanegara tidak berputera, maka sepeninggalnya pada tahun 1328, beliau digantikan oleh adik perempuannya yaitu Bhre Kahuripan yang dinobatkan menjadi raja Majapahit dengan gelar abhiseka Tribhuwanottunggadewi Jayawisnuwarddhani. Beliau menikah dengan Cakradhara atau Cakreswara yang menjadi raja di Singhasari (Bhre Singhasari) dengan gelar Kertawarddhana. Adik Tribhuwana yang menjadi Bhre Daha dengan nama Rajadewi Maharajasa kawin dengan Kudamerta yang menjadi Bhre Wengker dengan nama Wijayarajasa.

Dari kakawin Negarakertagama kita mengetahui bahwa dalam masa pemerintahan Tribhuwana telah terjadi pemberontakan di Sadeng dan Keta pada tahun 1331. Pemberontakan itu dapat dipadamkan oleh Gajah Mada. Kitab Pararaton memberikan versi yang panjang lebar tentang peristiwa Sading itu. Arya Tadah yang waktu itu menjabat Patih Amangkubhumi di Majapahit sedang jatuh sakit. Ia meminta kepada Gajah Mada supaya mau dicalonkan sebagai Patih Amangkubhumi menggantikan dirinya. Gajah Mada tidak mau sebelum ia kembali dari Sadeng untuk menumpas pemberontakan. Maka berangkatlah ia ke Sadeng, tetapi telah kedahuluan oleh Kembar. Ia memerintahkan para mantri untuk menundukkan Kembar, tetapi Kembar membangkang. Akhirnya pemberontakan itu dapat dipadamkan setelah baginda raja turun tangan sendiri, kemudian Gajah Mada diangkat menjadi Patih Amangkubhumi.

Sesudah peristiwa Sadeng tersebut kemudian muncul suatu peristiwa yang amat terkenal dalam sejarah, yaitu Sumpah Amukti Palapa yang diucapkan oleh Gajah Mada.

Gajah Mada bersumpah di hadapan raja dan para pembesar Majapahit, bahwa ia tidak akan amukti palapa sebelum ia dapat menundukkan Nusantara, yaitu Gurun, Seran, Tanjungpura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang dan Tumasik.

Setelah peristiwa sumpah palapa tersebut, peristiwa yang kedua adalah penaklukan Bali pada tahun 1343, raja Bali yang berkelakuan jahat dan berbudi rendah dapat dibunuh beserta segenap keluarganya. Mungkin sekali raja Bali tersebut adalah Sri Astasura Ratna Bumi Banten yang dikenal dalam prasasti Langgaran (Langgahan) tahun 1338.

Berita Cina yang berasal dari seorang pedagang yang bernama Wang Ta-yuan mencatat hal-hal yang menarik perhatian dalam perjalanannya, catatan-catatan tersebut dihimpun dalam suatu buku Tao-ichih-lueh yang ditulis sekitar tahun 1349, menceritakan bahwa She-po (Jawa) sangat padat penduduknya, tanahnya subur dan banyak menghasilkan padi, lada, garam, kain dan burung kakak-tua yang kesemuanya merupakan barang ekspor utama. Banyak terdapat bangunan yang indah di She-po, dari luar She-po mendatangkan mutiara, emas, perak, sutera, bahan keramik dan barang dari besi. Mata uang dibuat dari campuran perak, timah putih, timah hitam dan tembaga. Banyak daerah yang mengakui kedaulatan She-po, antara lain beberapa daerah di Malaysia, Sumatra, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur serta beberapa daerah lain di Indonesia bagian Timur.

Pada tahun 1334 lahirlah Putera Mahkota yang benama Hayam Wuruk, yang kelahirannya disertai dengan alamat gempa bumi, hujan abu, guntur dan kilat bersambungan di udara sebagai akibat meletusnya gunung Kampud.

Tribhuwana memerintah selama duapuluh dua tahun lamanya, dan pada tahun 1350 beliau mengundurkan diri dari pemerintahan dan digantikan oleh puteranya Hayam Wuruk. Dari kitab Pararaton dan Negarakertagama kita mengetahui bahwa pada tahun 1362 Tribhuwana memerintahkan penyelenggaraan upacara sraddha untuk memperingati duabelas tahun wafatnya Rajapatni Dyah Dewi Tribhuwaneswari. Pada tahun 1372 Tribhuwana meninggal dunia dan di dharmakan di Panggih (tepatnya di wilayah Klinterjo sekarang, karena pada Yoni Nagaraja yang ada terpahat angka tahun meninggalnya Tribhuwanottunggadewi), pendharmaannya bernama Pantarapurwa. Untuk lebih jelasnya silahkan baca Yoni Klinterjo.

0 komentar:

Posting Komentar

Demi kemajuan blog ini, silahkan berkomentar yang bersifat membangun ...